Labels

PengUnJuNg...

   

Kakak yang sempurna

Diposting oleh chy On 10.37

“Aku benci Victoria!” teriakku keras-keras setelah menutup pintu kamar. Fuih, untung kamar ini kedap suara. Kalau tidak, wartawan koran lokal Batam itu yang sedang mewawancarai kakak di ruang tamu, malah bisa pulang dengan membawa berita yang tidak-tidak lagi! Ah, biar bagaimanapun kesalnya aku terhadap kakakku itu, aku tetap tidak mau keluarga kami malu. Bukan hanya Victoria yang akan malu, aku tentunya juga tidak mau kalau mama dan papa juga malu. Begitu juga aku yang tidak mau jika harus ikut-ikutan malu karena ulahku sendiri. Apalagi kalau namaku juga jadi buruk karena itu

Tiba-tiba mataku tertuju ke arah sebuah foto dua orang cewek yang sedang tersenyum manis. Di foto yang terpajang di kamarku itu, ada aku dengan topi terbalik berpose sembari mengerucutkan bibir. Persis gaya Korean Girl yang sekarang masih menjadi tren pose untuk berfoto anak muda. Sedangkan cewek lain di foto itu dengan rambutnya yang seperti lurus berponi Cleopatra, sedang tersenyum sembari memerlihatkan deretan gigi rapihnya. Itulah kakakku, Victoria.
Melihat keakuran kami berdua, sebetulnya cukup membuat banyak tetangga menjadi iri kepada orangtuaku. Kata mereka, kedua putri orangtuaku itu tingkahnya sama manisnya, baik dan rukun tidak pernah bertengkar.
Namun ujung-ujungnya selalu… “Apalagi ibu itu punya anak seperti Victoria. Duh… benar-benar membuat kami jadi iri deh! Sudah cantik, pintar, anaknya baik, prestasinya banyak lagi. Ya ampun Jeng… dulu pas hamil ngidam apa sih? Biar anak dalam perutku juga bisa kayak Victoria deh…” celoteh Bu Anis beberapa waktu lalu. Tetanggaku itu memang sedang hamil lima bulan.
Ih, tapi apa nggak terbalik tuh?! Perasaan kalau orang sedang hamil dan benci sama seseorang, baru deh anaknya nanti kayak orang yang dibencinya. Berarti… Hahaha… Bu Anis anaknya nggak bakal mirip sama Kak Victoria dong?!
Ah ya, begitulah kondisinya. Semua-semua pasti awalnya memuji kami berdua demi melihat apa yang kami miliki. Tapi ujung-ujungnya, selalu Kak Victoria yang lebih banyak mendapat sorotan pujian.
Terkadang kalau sedang merenungi, aku cukup sedih dan menyesal juga. Kenapa dulu Mama dan Papa memberi nama orang yang akhirnya sekarang menjadi kakakku itu dengan nama Victoria? Dan kenapa juga sih aku dulu juga tidak diberi nama dengan sebuah nama yang juga punya arti ‘besar’? Misalnya Gloria, Vici, atau Diva begitu? Uh, pokoknya aku menyesal sekali. Kenapa aku harus mendapat nama Angela. Sudah begitu kalau arti namaku itu memang berarti seorang dewi, kenapa juga nasib dan peruntunganku pas-pasan melulu?!
Memang, mama dan papa tidak pernah membanding-bandingkan kami berdua. Tapi, orang lainlah yang kebanyakan selalu usil melakukan itu. Seperti kebiasaan guru-guruku di sekolah misalnya!
“Ya ampun Angela… kenapa sih nilai pelajaranmu hampir selalu mendekati parah? Kalau kakakmu si Victoria dulu ketika aku ajar, kayaknya nggak pernah tuh nilainya seperti ini? Nilai dia selalu bagus bahkan selalu tertinggi di sekolah. Ah, mana mana pula ulah anak ini?! omel Bu Marta dengan logat khasnya.
Oke, oke deh kalau sekedar dimarahi saja aku sih terima-terima saja. Tapi kalau urusannya di dalam kelas, dilihat dan didengar orang satu kelas, ya ampun… ya pasti aku jadi malu banget dong! Apa kata Dio?
Dan kacaunya, ternyata maluku di depan Dio, cowok sekelas yang aku taksir waktu itu bertambah dengan rasa dongkol. Apalagi kalau lagi-lagu bukan karena ada hubungannya dengan kakakku, Victoria!
Begini ceritanya, suatu ketika tanpa ada angin segar di tengah panas terik matahari di siang bolong, si Dio minta izin buat main ke rumahku sore harinya. Hah? Secara seorang Dio, cowok yang sedang aku taksir mati-matian, ingin main ke rumahku? Masa iya mau aku tolak?!
Ya akhirnya jadilah hari itu seketika menjadi hari yang rasanya akan menjadi hari paling indah buatku. Tapi, ternyata ada lagi ujung yang membuat aku kembali menjadi merasa sebal. Pertama-tama sih, aku dan Dio waktu itu asik bercerita ini itu di beranda. Hehehe, lebih tepatnya aku sih yang paling banyak cerita!
Namun lambat laun, aku pun mulai membaca jika ada tingkah laku Dio yang agak terasa janggal. Sebentar-sebentar, ia mencoba mencuri-curi pandang sambil melirik ke arah dalam rumah. Lalu jika diajak bicara atau cerita, ia jadi mulai sering tidak menyambung dengan apa yang aku obrolkan.
Akhirnya, gelagat yang mulai aku baca itu benar juga adanya dengan pertanyaan, “Angela, kakakmu si Victoria itu lagi ke mana ya?”
Aku mengerutkan alis. “Dia lagi fashion show ke Kuala Lumpur. Ada yang penting banget ya? Ntar deh aku sampaikan ke dianya.”
“Iya, bilangin deh ya ada salam dari aku. Terus… aku titip ini ya ke dia,” ujar Dio sambil menyerahkan sebuah bingkisan kado berwarna kuning, warna kesukaan Kak Victoria.
Satu, dua, tiga. Aku mencoba mengerjap-erjapkan mataku sambil mencoba mencerna yang sedang terjadi. Jadi, ceritanya Dio ke rumahku ini cuma ingin bertemu Kak Victoria? Jadi, aku cuma dijadikan batu lompatan kesempatan saja nih buat Dio agar bisa ketemu Kak Victoria? Jadi, ceritanya Dio yang kelas dua SMP ini sedang naksir kakakku yang kelas tiga SMA? Whoa…!!!
Rasanya seketika langsung mati otak dan hatiku. Dasar cowok oediphus complex! Masa iya ada cowok naksir sama cewek yang lebih tua empat tahun?
Dan rasa nggak mengenakkan itu makin memuncak waktu aku tahu ternyata isi kado dari Dio untuk Kak Victoria itu berisi syal yang begitu lama aku idam-idamkan.
“Lho Angela, ini kan syal yang kamu inginkan sudah sejak lama?” Kak Victoria yang malah terkejut kegirangan. “Jadi, buat adekku yang manis saja deh ya…” lanjutnya sambil melilitkan syal pemberian Dio di leherku.
Syal yang memang begitu aku idam-idamkan, dari seseorang yang sedang aku cintai itu justru malah membuat leherku seperti terasa tercekik. Okelah, aku memang suka dengan syal itu. Okelah, ini memang dari Dio, cowok yang sedang aku taksir. Tapi kalau itu seharusnya bukan buat aku, dan apalagi dari seorang Dio yang masih seumuran denganku tapi naksir kakakku, lebih baik ENGGAK!
Dan aku putuskan sejak itu enggak juga deh buat naksir Dio. Huh, lebih baik mundur deh dari barisan fans clubnya Dio di sekolah kalau sudah tahu ceritanya malah jadi seperti itu! Kalau saingannya anak seumuranku di sekolah sih, oke-oke saja. Tapi kalau yang dipilih itu adalah kakakku sendiri yang umurnya sudah lebih tua? Fuih…! Lebih baik mencari cowok normal lain deh yang bisa ditaksir!
Waktu itu aku tidak tahu apakah seharusnya aku harus kesal atau menangis sejadi-jadinya. Kenapa sih, seorang Dio harus naksir ke kakakku? Apalagi kakakku malah menunjukkan sikap baik hatinya dengan memberikan syal itu kepadaku. Yah, akhirnya perasaan campur aduk antara kesal dan irilah yang kemudian muncul. Aku jadi benci dengan kakakku yang seharusnya lebih pantas menyandang nama Angela. Karena sesungguhnya, ialah yang berhati bening dan justru tidak bisa aku miliki!
Sebetulnya penderitaanku itu sudah terasa sejak kami masih kecil. Waktu itu, aku begitu heran dan mengecam orang dewasa yang kebanyakan selalu bertingkah tidak dewasa terhadapku. Masa iya, di depanku mereka mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan tentangku dan jelas-jelas terdengar di telingaku? Huh, dikiranya kalau anak kecil itu tidak mengerti bahasa manusia apa?
Mau tahu contonya? Ini nih… “Aduh… adiknya kok nggak secantik kakakknya ya?!”
Huh, padahal aku pun nggak jelek-jelek banget kok! Kalau sudah begitu, rasa hormatku kepada mereka, orang yang seharusnya aku hormati itu langsung hilang. Dengan melotot, aku tunjukkan rasa ketidaksukaanku atas ucapan mereka yang bagiku sangat tidak bertanggungjawab! Dan jika sudah begitu, biasanya cara tersebut ampuh untuk membuat mereka jadi salah tingkah. Biar saja, memang dikiranya anak kecil itu tidak punya kuping dan perasaan apa?!
Bila aku sudah berada dalam kondisi marah seperti itu, Kak Victoria kemudian akan datang mendekatiku, memelukku, dan mengajakku pergi dari hadapan mereka. Pokoknya, dialah sesungguhnya dewi untukku!
Ya, Kak Victoria memang selalu terlihat sempurna. Entah itu di depan kami sekeluarga, di depan semua orang, juga di depanku yang terkadang sering jelas terlihat menampakkan rasa iri terhadapnya.
Dari fisik saja, semua orang memang mengakui kalau ia nampak lebih cantik jika dibandingkan aku yang meskipun juga tergolong tidak jelek. Di sekolah, semua guru mengenalnya sebagai murid yang pintar. Memang, ia tidak selalu berada di peringkat pertama. Tapi paling tidak, peringkat lima besar selalu dipegangnya.
Di kalangan perumahan tempat kami tinggal, ia dikenal sebagai anak yang santun. Sampai-sampai, Kak Victoria selalu jadi idola dan pujaan pada ibu hamil di perumahanku!
Atau buat mereka yang memiliki anak cewek, pasti selalu sering dinasehati dengan perkataan seperti ini, “Tuh, contoh Victoria. Kok kamu nggak bisa sih seperti dia?”
Ah, kadang aku berpikir sungguh kasihan sekali para orangtua itu yang kecewa terhadap anaknya. Dan tentunya sungguh beruntung lah orangtuaku yang anaknya selalu jadi kebanggaan orang lain.
Di kalangan wartawan di Batam, Kak Victoria selalu dikenal sebagai model yang rendah hati, tidak sombong, dan pintar dalam bergaya atau kala diwawancarai. Konon katanya, tidak seperti model lokal kebanyakan di Batam yang sudah merasa duluan menjadi bintang padahal belum apa-apa! Jadinya wartawan pun senang bekerja sama dengannya untuk sesi pemotretan atau untuk dimintai opininya tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan dunia anak muda.
Prestasi Kak Victoria juga banyak di bidang lain. Di bidang olahraga, dia selalu masuk tim basket sekolah kami. Kak Victoria sering diutus sekolah untuk ikut pertandingan bulutangkis sampai renang.
Belum lagi di dunia catwalk. Meskipun nggak lahir dari sebuah agency model, kakakku selalu jadi favorit para juri sampai akhirnya bisa menang di kompetisi modelling apa saja. Para agency model yang ada di Batam pun sampai berebut meminta Kak Victoria untuk ikutan bergabung. Yah, apalagi kalau bukan alasannya agar agency model milik mereka jadi terkenal. Untung Kak Victoria selalu berkata tidak.
Lihatlah, begitu sempurnanya kakakku. Multi talent! Tidak seperti diriku yang cuma bisa bikin komik dan hanya bikin komik saja. Padahal, Papa selalu adil untuk sama-sama mengikutsertakan kami berdua mengikuti kursus di bidang yang sama. Tapi ya itulah yang sekali lagi terjadi, kakakku bisa menjadi bintang, dan itu tidak secemerlang terjadi padaku!
Dan sekarang yang sedang terjadi di luar, ada seorang wartawan dari sebuah media di Batam ini yang sedang mewawancarai Kak Victoria. Itu karena baru-baru ini Kak Victoria terpilih sebagai finalis paling berbakat di sebuah majalah yang ada di Jakarta. Yah, siapa sih yang nggak bangga dapat prestasi seperti itu? Apa lagi yang namanya anak daerah, jarang ada yang bisa berprestasi sampai nasional.
“Angela… Angela… buka pintunya dong. Mas Ery minta kita untuk foto bareng nih. Angela…” Di luar sana Mama memanggil-manggil memintaku untuk keluar. Ah, biarkan saja! Mau namaku masuk koran atau nggak, aku tidak peduli! Toh kalaupun masuk, yang dielu-elukan pastinya nama Kak Victoria melulu. Dan aku, hanya akan jadi si pecundang yang hanya menjadi pembanding atau pelengkap saja.
“Angela… Angela…” Mama ternyata masih belum menyerah. “Sayang, dia mau wawancara kamu juga nih. Ayo dong, keluar dari kamar…”
Sunyi untuk beberapa saat. Ternyata usaha Mama untuk memintaku keluar tidaklah lama. Ah, sudahlah. Lebih bak aku tidur dan melupakan kekesalan hatiku ini untuk sejenak.
**
Tak terasa, tidurku ternyata sudah cukup lama. Rasa segar di pikiran membuat aku sadar bahwa tuntutan perutku yang sebetulnya sudah sedari tadi menjerit untuk ingin diisi, membuatku beranjak untuk keluar kamar.
“Angela, tadi kenapa kamu tidak mau keluar waktu Mama memanggil?” sapa Victoria yang kemudian terkejut demi melihat wajah pucatku yang sebetulnya terlihat seperti orang sakit karena mataku yang sembab akibat menangis.
“Astaga, kamu sakit?” Victoria terkejut setelah menyadari apa yang terlihat dari ekspresi pucat wajahku.
“Oh, eh, nggak kok Kak. Aku cuma uhm, iya nih, kayaknya agak nggak enak badan,” aku mencoba mengaku seadanya.
“Yah, sebetulnya sayang lho tadi kamu nggak keluar. Sebetulnya tadi Mas Ery ingin ngobrol dengan kamu juga. Ceritanya, dia baru tahu kalau kamu punya bakat corat coret komik. Kebetulan, dia punya informasi kalau di korannya, sedang butuh kartunis untuk mengisi kolom itu secara tetap. Honornya sih, konon katanya lumayan juga! Sudah begitu, dia ternyata juga punya informasi kalau hobimu itu sekarang sedang prospek lho untuk ditekuni. Pokoknya, Mas Ery ingin banget bisa ngobrol sama kamu tuh,” celoteh Kak Victoria panjang.
Aku langsung tertegun. Tidak hanya karena informasi berharga yang telah aku lewatkan, tetapi karena aku merasa begitu kerdil dalam berpikir. Ketika aku merasa tidak berarti, orang lain justru mampu memandang sisi lebih dari diriku sendiri. Belum lagi kekerdilan pikiranku karena ternyata, Kak Victoria memang selalu begitu baik dan perhatian terhadapku. Ah, kesadaran singkat yang datang begitu cepat tapi akankah ini terlambat?
“Kak,” panggilku, “Kakak pernah nggak sih merasa malu memiliki adik seperti aku?”
Kak Victoria malah menatapku kebingungan. “Kenapa aku harus malu? Apa yang membuat aku merasa malu?”
“Yah, karena adikmu ini tidak bisa menjadi bintang yang terang seperti dirimu.”
Kak Victoria justru merangkul bahuku. “Karena kamu itu sebetulnya punya sesuatu kok yang bisa dibanggakan. Kalau kamu tidak punya kemampuan apapun, barulah aku mungkin malu. Tetapi, kamu punya beberapa kelebihan. Kamu pintar membuat komik, teman-temanmu banyak dan kamu terkenal sebagai anak yang supel, kamu cantik, yah… meski nggak secantik aku sih!” kelakar Kak Victoria.
Akhirnya aku justru tersenyum mendengarnya. Yah, jika orang lain bisa melihat kelebihan dari diri kita sendiri, kenapa kita sendiri yang malah tidak bisa? Kalau orang lain bisa bangga untuk kita, kenapa kita yang malah harus minder? Seketika rasa nyaman menjalar alam tubuhku. Yah, aku bisa juga kok membuat Mama, Papa, dan juga Kak Victoria bisa bangga terhadapku


Category : | Read More...... edit post

0 Response to "Kakak yang sempurna"

Posting Komentar

cOmMeNtt. . .


ShoutMix chat widget